Jumat, 28 Juni 2013

(Ke)Bahagia(an)

"Jika kau ditakdirkan dapat memberhentikan waktu kehidupan, apa yang akan kau lakukan?" katamu membuka percakapan kita sore ini dengan sisi lain diriku di kaca itu.

"Membahagiakan kepedihan" kataku, tak yakin.

Kau tampak nyinyir, menandakan kau tak bisa menerima jawabanku. "Apa maksudmu?" katamu.

"Aku akan berjalan kebelakang, meneliti semua kepedihan yang aku alami sepanjang sejarah hidupku. Maka di sanalah aku akan benar-benar tahu bagaimana kepedihan itu bisa terjadi" semakin tak yakin dengan jawabanku sendiri.


"Lalu apa hubungannya dengan kebahagiaan itu sendiri?"  tanyamu sekali lagi dengan kebingungan yang masih melingkupimu.

"Semakin kita tahu tentang proses kepedihan kita akan semakin bahagia. Kita tahu, kebahagiaan adalah hasil dari pengkorversian kepedihan. Ya, memang tak mudah melakukannya, tapi jika kita mau menerawang kembali jauh ke kedalaman hati, kita akan tahu bahwa bahagia yang sebenarnya adalah kepedihan itu sendiri. Semua butuh proses untuk berbahagia. Sebenarnya kita punya banyak waktu untuk sekedar melihat kebelakang, mencari kepedihan paling pedih yang pernah kita rasakan, kemudian kita konversikan menjadi bentuk kebahagiaan." kali ini aku menjawab dengan penuh keyakinan yang entah darimana asalnya.

"Tapi perlu kita ingat, hidup tak perlu melulu dengan kebahagiaan. Seperti permainan, ada kalanya kita sedih dan menerima kekalahan dan kemudian bangkitlah!" tutup ku dengan penuh semangat dan bergairah sembari tersenyum lebar.

Kemudian kau terdiam, kemudian dengan cepat kau menghilang begitu saja, entah mengapa. Tapi aku bahagia, kau pergi membawa beberapa keping kepedihan di masa lalu ku yang masih ku rasakan sampai saat ini—walaupun tak semuanya.

Terima kasih! kau telah membuatku sedikit lebih tenang, membuka lebih lapang hati ini tentang arti bahagia. Ya, walaupun kau sekadar bertanya, tapi aku bahagia denganmu—diriku sendiri.